Ketika Nabi Muhammad SAW dan jasadnya belum dikuburkan, sedangkan para anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan dan upacara pemakaman Beliau, teman dan pengikut Ali bin Abi Thalib mendengar adanya kelompok lain yang telah pergi ke masjid, tempat berkumpul pulangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini yang kemudian menjadi mayoritas dan bertindak lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih pemimpin kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan umat islam dan memecahkan masalah pada saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan Ahl bait, keluarga ataupun para sahabat yang sibuk dengan upacara pemakaman dan tidak sedikitpun memberitahukan mereka.[1]
Berdasarkan realitas yang seperti inilah yang kemudian memunculkan sikap di kalangan umat islam yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka berpendapat bahwa pengganti Nabi SAW dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali Ra. Hal ini mereka yakini karena sejalan dengan isyarat yang Nabi SAW berikan pada masa kenabian, yaitu pada awal masa kenabian ketika Nabi SAW diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabat yang pertama kali menerima adalah Ali bin Abu Thalib Ra. Diceritakan pada saat itu Nabi SAWmengatakan bahwa orang yang pertama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya.[2] Kelompok yang menolak keputusan mayoritas inilah yang kemudain disebut sebagai Syi’ah.
Golongan Syi’ah sudah ada sejak wafatnya Nabi SAW. Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah. Pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan Ra mulai berkembang dan memperoleh momentum pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Ra, tepatnya pada perang Shiffin.
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut,pendukung, partai, atau kelompok. Sedangkan menurut terminologi adalah sebagiankaum muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW Atau orang yang disebut sebagai Ahl bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataanya bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari Ahl bait. Mereka menolak petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan Ahl bait atau para pengikutnya[3].
Dalam perkembangannya, meskipun mempunyai landasan yang sama yaitu mengikuti petunjuk Ahl bait kelompok Syi’ah tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah kelompok ini terpecah menjadi beberapa sekte antara lain Syi’ah Zaidiyah Perpecahan ini disebabkan karena terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah.
Syiah Zaidiyah adalahgolongan yang mengakui Zaid bin Ali sebagai Imam kelima pada golongan Syi’ah. Dia adalah putra Imam keempat Ali Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan Syi’ah lain yang menganggap Muhammad al-Baqir sebagai Imamkelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah nama Zaidiyah diambil.[4]
Naman aslinya adalah Zaid Bin Ali Zaenal Abidin Bin Husain Bin Ali Ra. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti karena tidak adanya riwayat yang bisa diyakini, tetapi menurut salah satu riwayat menyatakan bahwa dia dilahirkan pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 122 H.[5]
Di Indonesia, ajaran Syi’ah juga sangat banyak diamalkan oleh Umat Islam baik secara langsung maupun tidak dan meskipun mereka tidak menyatakan bahwa diri sebagai golongan Syi’ah. Hal ini bisa kita lihat dengan banyaknya perkumpulan yang dilakukan oleh para Habaib[6] dan orang yang simpatik dengan mereka. Bahkan mereka sangat mengagungkan mereka. Contoh lain misalnya banyak sekali diantara Umat Islam yang sangat mengidolakan salah satu ulama, kyai atau tokohdan mematuhi apapun yang diperintahkan tanpa berpikir panjang, Sami’na wa atha’na begitulah kata yang sangat populer di antara kita. Inilah salah satu contoh praktik doktrin imamiyah yang dikembangkan oleh Syi’ah yaitu mematuhi apa yang diperintahkan oleh sang Imam harus dijalankan.
Terlepas dari itu di Indonesia juga sudah banyak kajian baik berupa buku, artikel, maupuin diskusi yang banyak membahas tentang Mazhab ini. Kajian yang banyak ini hanyalah sebatas membahas teologi atau kepercayaan mereka dan masih jarang sekali ditemukan adanya kajian membahas tentang fikih mereka. Bagaimana fikih yang mereka amalkan, bagaimana mereka berijtihad,bagaimana dan apa sajakah sumber dalil yang mereka pakai untuk istinbath al-ahkam. Dari sinilah perlu adanya kajian tentang hal itu meskipun hanya sekilas mengingat masih sedikitnya kajian tentang hal ini di kalangan kita.
B.Fikih Zaidiyah
Selain sebagai seorang Imam pemberi fatwa Imam Zaid bin Ali juga menuliskan pemikiran-pemikirannya kedalam sebuah buku. Diantara buku karanganya yang terkenal adalah Al-Majmu' al-Kabir, sebuah kitab yang berisi kumpulan hadits dan fikih. Keduanya diriwayatkan oleh muridnya yang bernama Abu Khalid Umar bin Khalid al-Wasithi al-Hasyimi yang dikenal sangat setia kepadanya. Ia wafat pada perempat ketiga abad ke 20 Hijriyah. Kitab inilah yang akhirnya menjadi rujukan Syiah Zaidiyah.[7]Fikih Imam Zaid bin Ali[8] hampir sama dengan fikihnya Mazahib al-Arba’ah Hal ini bisa dilihat dari kandungan kitab al-Majmu’ dan dengan membandingkannya dengan fikih Mazahib al-Arbaahdapat disimpulkan bahwa fikih Zaidiyah hampir sama dengan fikih Mazahib al-Arba’ah.[9]
Muhammad AbuZahrah menambahkan dalam bukunya, Tarikh Mazahib al-Islamiyah, apa yang keluar dari pendapatnya Imam Zaid bin Ali tidak berbeda dengan pendapat Fuqaha lain. Apabila pendapatnya berbeda dengan pendapat salah satu dari mereka maka pendapatnya akan sama dengan yang lainnya.[10]
Secara umum hampir tidak ada perbedaan antarafikih Zaidiyah dan fikih Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, khususnya dalam masalah ibadah, masalah-masalah yang fardlu. Hanya ada perbedaan sedikit dalam masalah furu' seperti dalam adzan ada kata-kata Hayya'ala khairi al-amal, tidak sedekap dalam shalat, shalat hari raya tidak mesti berjama'ah, shalat tarawih berjama'ah dikategorikan bid'ah, tidak sah shalat dibelakang orang yang penuh dosa dan lain-lain.[11]
C.Perkembangan Fikih Zaidiyah
Setelah wafatnya Imam Zaid bin Ali RA Mazhab Zaidiyah terus berkembang. Diantara sebab-sebab perkembangannya antara lain adalah:
1.Adanya Imam yang sebagian besar masih Ahl bait. Ketika berijtihad mereka hampir tidak pernah ada yang menyeleweng dari apa yang pernah dilakukan oleh Imam Zaid bin Ali dalam menyelesaikan masalah, dan pendapat-pendapat mereka selalu mengatasnamakan Mazhab Zaidiyah.
2.Pemakaian dalil ‘Urf dalam berhukum ketika tidak tidak adanya dalil nash dari al-Qur’an atau hadist Nabi SAW.
3.Terbukanya pintu ijtihad dalam Mazhab Zaidiyah.
Dalam lintasan sejarahnya Mazhab mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Mazhab ini tersebar dibeberapa daerah antara lain: Hijaz[12], Irak, Yaman dan dibeberapa wilayah lain masih ada corak dan kebiasaan Mazhab ini. Meskipun Mazhab ini tersebar diwilayah-wilayah yang berjahuan antara satu daerah dengan yang lainnya akan tetapi persatuan para Imam-imamnya tetap terjaga bahkan pemikiran dan ajaran mereka tetap berjalan dengan baik.[13]
Ijtihad dalam Mazhab Zaidiyah tidak terbatas hanya untuk dilakukan oleh Imam dari keluarga Husain bin Ali bin Abi Thalib, akan tetapi mereka juga memperbolehkan ijtihad dilakukan oleh keluarga Hasan bin Ali bin Abi Thalib dikarenakan Imam Zaid bin Ali tidak mengakui dalam khilafah hanya boleh dari keluarga Husain bin Ali bin Abi Tahlib Ra yang berhak menjadi Imam bahkan Imam Zaid bin Ali menganggap Imam dalam kekhalifahan untuk semua keturunan dari Fatimah Ra.[14]
Ijtihad yang terjadi di Mazhab Zaidiyah hanya terbatas pada masalah-masalah furu’iyah dan tidak terjadi pada masalah ushuliyah sehingga tidak bisa disebut mujtahid mutlak. Dan disebut ijtihad Intisabun Lil al-Mazhab.[15]
Dalam perkembangnya, dalam berijtihad Mazhab Zaidiyah tidak terpaku pada metode yang telah dipakai oleh Imam Zaid bin Ali akan tetapi mereka juga memakai metode Mazhab-mazhab lain sekiranya lebih baik dan mapan untuk penyelesaian masalah. Terutama Mazahib al-Arba’ah yang telah masyhur dibeberapa daerah. Kerena itu muncullah asumsi bahwa Mazhab Zaidiyah adalah Mazhab pengumpul metode Mazhab lain dalam berijtihad dan tidak terbatas oleh ijtihad Imam Zaid bin Ali.
Ulama-ulama yang terkenal dari Mazhab Zaidiyah antara lain : Hasan bin Shalih bin Hay (168 H), Hasan bin Zaid bin Muhammad yang digelari dengan Imam Da’i ila al-Haq (imam pengajak kepada kebenaran) yang juga menjadi raja di Tabaristan pada tahun 250-270 H. Qasim bin Ibrahim al-Alawi dan cucunya al-Hadi Yahya bin Husain bin Qasim, Abu Ja’far al-Muradi.[16]
D.Sumber Hukum dalam Fikih Zaidiyah
Fikih pada masa Imam Zaid bin Ali hanya sebatas fatwa dari para Imam. Ketika muncul permasalahan baru maka para imam akan memfatwakan hukumnya. Memang setiap Imam Zaid menghukumi sesuatu selalu menggunakan metode tertentu akan tetapi metode tersebut tidaklah sampai kepada murid-muridnya baik tertulis maupun secara riwayat. Hal ini disebabkan karena fikih pada masanya terbatas hanya fatwa oleh dari Imam terhadap masalah-masalah yang terjadi dan akan terjadi. Tetapi bukan tidak mungkin para Imam pada waktu itu menjelaskan panjang lebar tentang metode yang mereka gunakan sebagai dasar istinbath mereka. Hal ini juga terjadi pada Imam Abu Hanifah, Malik, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Al-Auza’iy. Mereka tidak menjelaskan manhaj istinbath yang mereka gunakan tetapi manhaj mereka dapat diketahui dari masalah-masalah furu’iyah yang mereka fatwakan.[17]
Hal ini sama dengan para mujtahid Mazhab Zaidiyah setelah wafatnya Imam Zaid bin Ali metode yang yang dipakianya mereka simpulkan dari metode Imam Zaid bin Ali dan mereka menyebutnya dengan Ushul Aimah al-Zaidiyah atau Ushul al-Fiqh Zaidiyah.[18]
Menurut penuturan Abu Zahrah sumber dalil atau dasar istinbath Mazhab Zaidiyah adalah al-Quran, al-Sunnah, qiyas dan akal. Mereka memasukan istihsan, dan mashlahahal-mursalah kedalam pembahasan qiyas.[19]
Meskipun tidak secara langsung dalam satu paragraf atau satu kalimat Romli SA dalam bukunya, Muqaranah Mazaib Fi Al-Ushul menjelaskan bahwa ijma’ merupakan dasar dalil untuk istinbath Mazhab Zaidiyah.
Dengan mengkolaborasikan apa yang dijelaskan oleh Abu Zahrah dan Romli SA bahwa dalil yang dijadikan sumber hukum atau dasar istinbath mazhab zaidiyah secara urut sebagai berikut:
1.Al-Qur’an
2.Al-Sunnah
3.Ijma’
4.Qiyas, termasuk didalamnya istihsan, mashlahahal-mursalah
5.Akal
tetapi untuk semuanya ini Mazhab Zaidiyah punya batasan tersendiri dalam setiap poin-poin diatas yang bisa dijadikan hujjah atau dalil yang berbeda dengan batasan yang dipakai oleh Mazahib al-Arba’ah.
1.Al-Qur’an
Tentang sumber dalil dalam hukum Islam, maka al-Qur’an sumber utama dalam pembentukan hukumislam. Seluruh Fuqoha’ dan umat islam begitu juga dengan Mazhab Zaidiyah menyatakan bahwa al-Qur’an adalah sumber utama dalam dari hukum islam.
Zakarya al-Biri menyatakan dalam bukunya MasadirAl-Ahkam al-Islamiyah mengatakan: Al-Qur’an adalah pegangan dan sandaran utama untuk mengetahui dalil-dalil dan hukum syari’at, karena itu al-Qur’an merupakan aturan-aturan asasi, sumber dari dari segala pokok.[20]
2.Al-Sunnah.
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa al-Sunnah dari segi kehujjahannya ia merupakan sumber dalil dan menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak menemukan jawaban dalam al-Qur’an tentang peristiwa yang terjadi mereka mencari dalam al-Sunnah.[21]
Imam Syafi’i[22]menyebutkan dalam kitab al-Risalah sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa Imam Syafi’i menyatakan, sepengetahuan saya tidak ada yang menyangkal dari ketiga macam al-Sunnah[23]dengan al-Qur’an. Dengan demikian, melihat fungsi ketiga fungsi al-Sunnah terhadap al-Qur’an mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan tidak dapat terpisah. Tanpa al-Sunnah al-Qur’an tidak dapat dimengerti.[24]
Dengan melihat apa yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf dengan menukil kitab karangan Imam Syafi’I, al-Risalah bahwa diantara para Ulama tidak ada yang menyangkal pemakaian al-Sunnah sebagai sumber dalil kedua setelah al-Qur’an.
Hal ini juga sama dalam pandangan Syiah Zaidiyah dalam penetapan al-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Golongan Syiah Zaidiyah juga menganggap shahih apa yang terdapat dalam kutub al-Sunnah lain selain kitab al-Majmu’ karangan Imam Zaid bin Ali dan menggunakannya sebagai sumber dalil. Mereka tidak memberikan batasan antara mereka dengan para Ahli hadist, mereka juga menerima Rawi-rawi hadist yang adil yang bukan semazhab dengan mereka sebagaimana mereka menerima Rawi-rawi yang semazhab dengan mereka. Tidak seperti Syi’ah Imamiyah yang tidak menerima perawi yang adil yang tidak termasuk dari golongan mereka.[25] Hal inilah yang membedakan Syi’ah Zaidiyah dan golongan Syi’ah yang lain.
3.Ijma’
Mazhab Syi’ah, baik Syi’ah Imamiyah maupun Zaidiyah menggunakan ijma’ sebagai dasar dalam istinbat hukum, akan tetapi yang mereka maksud adalah ijma’ dari Imam-imam mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Hasbi al-Shidiqi bahwa Mazhab Syi’ah juga berpegang kepada ijma’ yang sumber pembentukannya berasal dari Imam-imam yang ma’shum. Hal ini terbukti bahwa golongan Syi’ah mengatakan ijma’ itu adalah: Kesepakatan suatu kelompok dimana kesepakatan itu berpijak atas dasar pandangan imam yang ma’sum.[26]
Pandangan ini yang menjadi pegangan Syi’ah Imamiyah. Artinya golongan Syi’ah yang hanya mengakui ijma’ ulama. Sementar itu, Syi’ah Zaidiyah sendiri sebenarnya ada perbedaan dengan Syi’ah Imamiyah. Syiah Zaidiyahdalam penerimaaan mereka tentang ijma’ lebih luwes. Mereka menerima ijma’ yang disepakati oleh semua ulama tanpa membedakan dan pengecualian, kecuali golongan yang tidak dipandang ahli dalam istinbath.[27]
Akan tetapi, Syi’ah Zaidiyah juga mampunyai kekhususan tentang ijma’, yaitu mereka memgkhususkan ijma’ kepada imam empat yang tidak boleh ditolak. Keempat Imam yang dimaksud adalah Ali bin Abu Thalib, Fatimah, Hasan, Husain. Menurut golongan Syi’ah Zaidiyah keempat tokoh yang disebut terakhir ini sebagai orang-orang yang ma’sum.[28]Dari sini dapat dipahami bahwa golongan Syi’ah Zaidiyah juga berhujjah dengan ijma’.
Kemudian, dikalangan Mazhab-Mazhab Sunni yang sering pula disebut juga Ahl al-Sunnah juga terdapat pendapat perbedaan-perbedaan spesifik tentang sumber pembentuk ijma’ yang akan dijadikan hujjah.
Imam Hanafi[29]berpendapat bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah. Ia menerima ijma’qauli dan ijma’sukuti. Imam Abu Hanifah menerima hukum-hukum ynag telah disepakati oleh mujtahid dan tidak menolak apa-apa yang telah disepakati oleh ulama Khufah.[30]
Sementara itu, Imam Maliki[31]juga berhujjah dengan ijma’. Hasbi Al-Shidiqi menjelaskan bahwa Imam Malik banyak menyandarkan pendapatnya atas ijma’ dan dalam kitab Al-Muwata’ sering menemukan pernyataan-pernyataan sesuatu yang telah menjadi kesepakatan maka hal tersebut merupakan ijma’fuqaha dan ahli ilmu yang mana mereka tidak berselisih padanya. Dari sini dapat dipahami bahwa Imam Malik hanya memerima ijma’ yang hanya bersumber dari para mujtahid. Disamping itu Imam Malik secara terpisah juga berbicara tentang ijma ‘ ahlmadinah.[32]
Kemudian dalam Mazhab Imam Syafi’i ijma’ juga dijadikan hujjah pemikiran hukum. Imam Syafi’i yang pernah berguru pada Imam Malik mengatakan bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah. Dalam sistem istinbathal-Ahkam imam Syafi’i menempatkan ijma’ pada urutan ketiga setelah al-Qur’an dan as-Sunnah.
Bagi Imam Syafi’i, ijma’ yag diterima sebagai hujjah adalah kesepaktan seluruh ulama atau mujtahid dari seluruh dunia islam. Dengan kata lain Imam Syafi’i tidak menerima ijma’ yang hanya bersumber dari satu golongan mujtahid atau lokal sebagaiman halnya Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.[33]
4.Qiyas
Dalam masalah qiyas bisa dijadikan dalil hukum atau cara untuk istinbathal-Ahkam ternyata para Fuqaha atau ulama Mazhab berada dalam satu pandangan yakni para Fuqaha sepakat bahwa qiyas adalah dalil hukum keempat yang disepakati oleh mereka setelah al-Quran, al-Sunnah, dan Ijma’. Sebagaimana dijelaskan oleh Romli SAqiyas bahwa hampir semua fuqaha atau Ulama Mazhab menganut pandangan ini. Dengan mapannya praktik penggunaan qiyas dikalangan mereka maka dinyatakan bahwa qiyas adalah dalil keempat yang telah disepakati. Meskipun ada diantara mereka ada yang menolak keberadaan qiyas maka tidak berarti merusak kesepakatan itu.[34]
Didalam qiyasMazhab Zaidiyah memasukan didalamnya istihsan, mashlahahal-mursalah.[35] Hal inilah yang membedakan antara Mazhab Zaidiyah dengan Mazhab Sunni yang menurut mazhab Sunniistihsan dan maslahahal-mursalah adalah pembahasan yang terpisah dari qiyas.
5.Akal
Berbicara tentang penggunaan akal oleh golongan Syi’ah Zaidiyah dapat kita ambil kesimpulan bahwa Madzhab ini hampir sama dengan Madzhab Mu’tazilah yaitu mereka memberikan akal peran sentral dalam pemahaman akidah. Mereka juga mengggunakan akal untuk memahami hukum syari’at dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena mereka memberikan porsi yang banyak akal untuk mengetahui baik dan buruknya sesuatu, maka apabila menurut akal sesuatu itu baik maka wajib hukumnya untuk menjalani dan apabila ditinggalkan maka akan mendapatkan dosa. Begitu juga sebaliknya apabila menuruk akal buruk maka hukumnya dilarang.[36]Kecanderungannya dalam penggunaan akal yang sangat berlebihan ini disebabkan karena kedekatannya dengan Washil bin Atho’, yang tidak lain adalah pendiri golongan Mu’tazilah.[37]
Mazhab inilah yang diambil oleh Syi’ah Zaidiyah, akal mempunyai peran banyak dalam menentukan baik buruknya setiap sesuatu dan beberapa konsekwensinya seperti hukum wajib, dilarang, pahala dan dosa. Akan tetapi Syi’ah Zaidiyah tidak memposisikannya langsung setelah dalil nash bahkan mereka memposisikannya setelah Qiyas beserta macam-macamnya dan ijma’. Penulis kitab al-Kasyif menulis: jika tidak ada dalil syar’i dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’, qiyas serta macam-macamya maka menggunakan akal dalam berdalil untuk menemukan baik buruknya sesuatu. Sarat penggunaan dalil akal adalah setelah tidak adanya dalil syar’i.[38]
E.Kesimpulan
Dari kupasan diatas dapat disimpulkan bahwa Syi’ah Zaidiyah sangat berbeda dengan golongan Syi’ah lainnya dan mereka juga lebih moderat dan tidak seekstrim golongan-golongan Syi’ah lainnya. Dari segi fikih dan sumber dalil yang mereka gunakan dalam istinbath al-ahkam mereka hampir sama dengan mazhab Sunni yang sering disebut dengan Ahl al-Sunnah. Bahkan dalam perkembangannya mereka tidak monoton dalam berijtihad bahkan mereka mengambil metode Mazhab-mazhab lain yang dianggap lebih relevan dan cocok untuk menyelesaikan masalah-masalah furu’iyah. Sebagai kesimpulan akhir bahwa Syi’ah Zaidiyah bukanlah Syi’ah tapi termasuk golongan Sunni atau Ahl al-Sunnah.
[1] Abdurrozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka setia, cet III, 2006) hal.91; juga Muhammad Husain Thabathaba’i, shi’a, terj. Husain Nasr, Anshariyah, Qum, 1981;
[2]Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (jakarta: penerbit djambatan,1992) hal.902
[15]Mujtahid al-Muntasib adalah mujtahid yang berbeda dengan imamnya hanya dalam masalah furu’iyah tidak didalam masalah ushuliyah; juga abu zahra. Hal. 668
[16]Subhi al-Mahshani, Falsafah al-Tasyri Fi al-Islam, Terj. Ahmad Sujono, Bandung: al-Ma’arif, tt, hal.63 )
[31]Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi(93 H/712 M-179 H/796 M):Tokoh pendiri mazhab malikiyah
[32] Hasbi al-Shidiqi, hal. 195; juga romli SA. 97
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.
Sidebar Section
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.
Posting Komentar